Bandung Part 3: Bakti Sosial untuk Korban Bencana Banjir
Alarm Hp gua berbunyi keras, memaksa gua membuka mata untuk
mengambil dan menghentikan bunyi alarm karena menganggu yang lain. Tidak lama
berselang adzan subuh ikut berkumandang, yang lainpun serempak bangun. Semua
shalat subuh setelah itu bersiap mandi, hanya gua yang asyik dengan berita di
tv dan tak sempat mandi.
Asyik nonton berita tak sadar jika waktu sudah menunjukkan jam 6
pagi, diwaktu yang sama sarapan dari penginapan datang. Nasi goreng lagi, tapi
terlihat lebih menarik. Semua lahap makan bersama, disela-sela sarapan pagi hp
mas khotib berdering,
"Iya pak kami sedang sarapan, dimana lokasinya?" Tanya
mas Khotib, mungkin telephone dari relawan lokal atau pak Tegar.
"Ayo cepat, pak Tegar baru nelpon. Katanya kita disuruh cepat
ke lokasi, team mereka sudah sampai dari jam setengah enam tadi." Sarapan
jadi sedikit ngebut, dengan cepat juga gua masuk kamar mandi. Cebar-cebur,
sikat gigi, keluar, berpakaian rapi. Tapi ada satu yang kurang rambut, ya
rambut. Dokter Fathul pimpinan IMS sebelum berangkat sudah mengultimatum gua
untuk tampil rapi, memang rambut gondrong gua sering juga orang bilang kribo.
Untuk acara formal seperti acak-acakan atau memang selalu acak-acakan. Bagi gua
biasanya saja tapi orang yang menilai, gua bahagia dengan penampilan gua yang
sekarang meskipun banyak orang tidak setuju. Tapi tetap ada yang sependapat
dengan hati gua, mereka menyukai penampilan gua.
"Ada yang punya minyak rambut?" Mas Khotib memberikan
minyak rambut. Kaca besar membuat gua bisa menilai sendiri penampilan gua.
Sesekali melihat rasanya tampan, tapi satu waktu yang lain sangat berantakan.
Gua coba mengikat rambut dengan karet sisa nasi goreng semalam, setelah itu gua
usapkan minyak rambut serata mungkin agar rambut keriwil ini terlihat rapi dan
rata. Minyak rambutnya berfungsi dengan baik, penampilan gua jadi sangat rapi
dibanding sebelumnya. Celana levis biru tua, kemeja abu-abu berlogo IMS, rambut
klimis diikat kebelakang, serta sepatu kulit kw berwarna coklat menjadi sahabat
perjalanan.
Kami meninggalkan penginapan setengah jam setelah telephone
perintah berangkat masuk. Alamat yang diberikan menunjukkan lokasi di salah
satu SDN dibandung dekat dengan masjid As-shofiyah. Mas Awal sudah tahu lokasi
walaupun samar, dia langsung tancap gas secepat mungkin. Sirine ambulance
dimainkan untuk memecah kemacetan karena kami memang terburu-buru. Tiga puluh
menit kami sampai, modal sedikit bertanya kami sampai lokasi. Pak tegar sudah
menunggu, wajah datar dia tunjukkan pada kami. Gua dengan santai menyalami lalu
bertanya bagaimana desai. Lokasi yang dia inginkan. Dia sedikit mengarahkan
desain lokasi yang dia inginkan, namun panitia sekolah sudah berinisiatif
dengan desain sendiri, lalu mas Khotib datang dengan desain sendiri. Gua jadi
bingung desain mana yang mau diikuti, akhirnya gua membiarkan semua berjalan
dengan sendirinya. Dimana pak tegar minta spanduk dipasang disana gua pasang,
dimana mas khotib minta obat ditata disana gua tata, dimana pihak sekolah yang
ingin membantu pendaftaran disana gua ajarkan sedikit langkah-langkah
menuliskan pihak yang ingin membantu pendaftaran.
Disaat semua akan berjalan dengan lancar, ada sekelompok orang
datang,
"Kami dari pihak RW ingin bantu di pendaftaran bisa, tapi
kalau pihak sekolah sudah membantu kami tidak mau bantu." Ini siapa yang
butuh bantuan? Siapa yang minta bantuan? Siapa yang mau membantu? Gua jadi
tidak mengerti. Nampaknya ada sentimen antara pihak RW terhadap pihak sekolah.
Gua tidak mau ambil pusing, ini urusan mereka.
"Maaf mas Mahmud, tolong bicara sama ibu. Saya mau merapikan
obat-obatan." Gua memanggil relawan lokal yang lebih mengerti akan suasana
di tempat ini. Gua merapikan obat-obatan sambil mendengarkan obrolan mereka.
Pada inti mereka pihak RW ingin ambil bagian dalam kegiatan ini mungkin untuk
kampanye mereka yang ingin menunjukkan jika Pihak RW ada andil dalam tiap
kegiatan sosial dilingkungannya. Nada sentimen nan licik yang memulai
pembicaraan ini membuat gua malas meladeni obrolan.
Pembicaraan antara mas Mahmud dan 5 orang dari RW tidak kunjung
selesai gua kembali menghampiri mereka lalu memutus obrolan tidak penting
tersebut.
"Gini-gini pada intinya, ibu-ibu ini ingin membantu kegiatan
sosial untuk masyarakat korban bencanakan?" Mereka mengangguk.
"Oke kalau gitu silahkan duduk dimeja yang ada obat-obatan
itu, silakan ibu-ibu bantu kami menyiapkan obat yang sudah Dokter resepkan
nanti." Dua orang ibu yang sudah paruh baya dengan berat hati duduk disana,
sisanya entah berlalu kemana? Mereka pergi begitu saja. Dari awal pembicaraan
ini hanya kepentingan, gua sudah mengerti sejak pertama.
Gua kira kegiatan ini langsung dimulai agar sebelum jum'atan nanti
sudah selesai. Ternyata masih ada acara pembukaan secara formal karena dari
pihak permata pusat datang langsung ke lokasi pengobatan. Jam 8 masih belum
juga dimulai, mereka masih sibuk mendesain tempat agar tampak rapi dan nyaman
untuk menyambut orang-orang permata pusat. Entah mengapa setiap kali ada
orang-orang yang memberi penghormatan berlebih pada orang lain, ada rasa benci
dalam hati karena gua terlahir dari orang-orang yang dipandang sebelah mata
saat melihat kemewahan ada rasa benci, kesal, atau sejenisnya apalagi sampai
memuja-muja manusia berlebihan.
Jika ada yang bertanya mengapa gua membencinya, karena ada
orang-orang yang memberi kenyamanan pada orang-orang besar yang dating secara
berlebihan sementara disatu sisi calon pasien yang datang sejak pagi harus
menunggu berjam-jam, mereka yang sebelum telah duduk rapi, digeser lagi tiga
baris kebelakang agar bangku depan bisa ditempati pada orang-orang yang sedang
ditunggu. Gua melihat wajah-wajah kesal namun terpaksa menunggu karena mereka
memang membutuhkan pengobatan atas penyakit yang mereka derita. Beberapa yang
tidak sabar meninggalkan tempat kegiatan dengan wajah kesal, berkeringat lelah,
dan mengalahkan rasa sakit mereka.
Mereka yang datang adalah orang-orang sehat dan berkecukupan, jika
memang ingin membantu kenapa tidak dengan sepenuh hati. Gua mengerti jika
memang butuh dokumentasi untuk tiap acara, kamera SLR ditangan gua bukankah cukup
untuk mengabadikan gambar-gambar berkualitas yang mereka butuhkan. Mungkin
karena gua lahir dari orang-orang yang duduk menanti bantuan dengan terpaksa
seperti mereka jadilah gua menyimpan kekesalan karena sangat mengerti rasanya.
Jam 9 akhirnya acara dimulai. Orang-orang besar sudah datang,
tertawa-ria, membicarakan banyak hal yang membuat mereka cekikikan. Kontras
dengan orang-orang yang sedang menunggu. Peluh keringat membasahi wajah dan
leher-leher mereka, bukan karena bekerja tapi hanya untuk menunggu kedatangan
orang-orang yang tertawa-ria. Mereka datang untuk mendapat bantuan bukan untuk
menunggu, menunggu ketidakpastian, menunggu keterpaksaan. Beginikah? Kenapa?
Tidakkah mereka punya hati agar bisa lebih reflek kesosialannya. Ini hanya
curahan hati, gua bukan siapa-siapa!! jadi tidak bisa berbuat apa-apa!! Tapi
suatu saat jika gua telah menjadi siapa? Gua ingin merubah apa-apa yang bisa
memberikan senyuman untuk banyak orang. Bukan memberikan keterpaksaan pada
mereka. Siapa yang suka dalam hidup keterpaksaan?
Ada sambutan dari orang-orang besar. Entah mengapa hati serasa
sinis saja pada segala yang berbau politik, sebelum acara baksos ini dimulai
ada sambutan dari anggota dewan setempat. Beranjak dari tempat duduknya, maju
ke depan khalayak dengan senyuman. Bicara dengan wibawanya, tapi gua tidak
melihat keikhlasan dalam raut wajah atau gua sudah terlampau kecewa pada dunia
politik. Ini bukan hal baik, tapi politik yang busuk telah menjajah negeri ini
yang membuat banyak orang jatuh miskin dan menderita, yang telah membuat jarak
terlalu jauh antara si kaya dan si miskin. Ekonomi negara hancur karena
keputusan orang-orang di atas yang berpikir tentang perut sendiri, gua tidak
membenci gua hanya kecewa.
Sambutan-sambutan berlalu, ada satu sesi lagi yang membuat gua
ingin menyelesaikan acara ini, semua orang besar berkumpul lalu berfoto dengan
senyuman terbaik mereka dihadapan para korban banjir. Pemandangan nyinyir ini
membuat gua tertunduk lesu, kecewa karena kini para korban bencana banjir melihat
gua berasal dari mereka yang sedang berfoto ria seperti merayakan sebuah
pencapaian besar dalam acara wisuda. Gua kecewa pada diri gua yang tidak mampu
berbuat apa-apa, gua kecewa!!
Waktu menunjukkan pukul 10.30, akhirnya kegiatan pengobatan
dimulai. Penuh semangat melayani orang-orang yang datang untuk mengambil obat
dimeja obat. Sesaat kemudian gua memperhatikan sekeliling kemana mereka yang
tadi bicara tentang berbuat baik, membantu orang banyak, tapi orang-orang besar
itu seketika menghilang saat kegiatan pengobatan dimulai bagai hembusan begitu
cepat berlalu. Gua melanjutkan kegiatan sesuai instruksi yang diberikan.
Dimeja ini kami melayani berbagai macam keluhan mulai dari hanya
pegal-pegal, batuk-pilek, asam urat, diabetes, darah tinggi, dan lainnya.
Paracetamol, selesbion, Dexa, baby cough, obh, bedak salycyl, salep adalah
obat-obat yang laris hari ini. Banjir menyebabkan banyak orang pusing
memikirkan kerugian yang dialami, memikirkan rutinitas mereka yang terganggu,
akibat genangan banjir juga mereka jarang mendapat air bersih jadilah penyakit
gatal-gatal, anak-anak banyak yang demam maka baby cough tepat untuk
mereka.
Disela pengobatan gua melihat seorang wanita muda yang sedang
hamil berbicara dengan ibu-ibu dari RW, mereka berhenti meresepkan obat-obatan
untuk pasien, mereka lalai sedang banyak pasien sudah menuggu.
“Ada apa?” Gua merasa gerah melihat hal ini.
“Ini lho mba ini dari bidan dari puskesmas…”
“ouh mau bantu kegiatan kita ayo silakan duduk kebetulan kalau
begitu.” Gua tersenyum, gua sudah tahu tujuannya wanita ini kemari. Sindiran
halus mungkin tepat agar dia sadar jika yang dia lakukan salah.
“Enggak, enggak saya Cuma mau ngambil data pasien sama diagnosa
penyakitnya aja.” Tepat seperti dugaan gua, ini akan digunakan sebagai laporan
kegiatan mereka jika prasangka buruk ini salah maka maafkanlah. Gua sempat
mendengarkan kabar selintingan dari salah satu dokter disaat kami sedang
mengadakan bakti sosial diwilayah banjir pulo Jakarta beberapa tahun yang lalu
dengan kejadian yang sama. Hampir setiap kali melakukan kegiatan sosial seperti
ini selalu ada pihak yang mengaku dari puskesmas untuk mengambil data dari
kegiatan yang kami lakukan.
“Ooo, kalau urusan itu mba salah nanya sama ibu-ibu ini, mbak
langsung aja ke penanggung jawab kegiatan ini mas Khotib bukan ke ibu-ibu ini
ya.” Gua mengingatkan jika yang mereka lakukan ini salah. Wanita yang sedang
hamil muda itu melengos berlalu dengan wajah kesal, biarlah artinya dia salah. Kegiatan
kembali berlanjut, senyuman bahagia para pasien memberikan rasa nyaman didalam
diri, gua juga bahagia.
Adzan shalat Jum'at memberi kami jeda untuk sesaat mendengar
khutbah yang kembali mengingatkan kita untuk tetap bertaqwa kepada Allah SWT.
Orang-orang tertunduk kala khutbah dimulai bukan karena mereka khusyuk dalam
menyerap apa yang disampaikan khotib tapi lelap dalam lelah, begitu alasannya.
Hari ini khutbah jumat itu jadi seperti obat tidur untuk mereka yang sulit
tidur. Padahal ketika sedang bersenang-senang dengan dosa kantuk tak pernah
datang, tapi kala ayat-ayat suci yang menyentuh telinga, entah mengapa bius
terbaik begitu ampuh untuk melumpuhkan manusia-manusia yang bermasalah dengan
kantuk.
Setelah shalat gua kumpul-kumpul bersama teman IMS, ada juga pak
Tegar di antara kami.
"Kita makan siang dulu ya, setelah itu baru kalian lanjut
lagi sampai jam 3 ya." Ucap memberi instruksi.
"Jangan kan jam 3 sampai obat habis kami tetap lanjut
pak," Canda gua untuk mencairkan suasana atas keterlambatan team medis IMS
pagi tadi. Melihat ada tawa dari pak Tegar rasanya sudah cukup itu pertanda
maaf untuk kami. Satu persatu dari kami beranjak dari santai-santai di teras
masjid, kami menuju kantor kepala sekolah yang berada dilantai 2. Disana kepala
sekolah menyediakan berbagai macam buah untuk kami nikmati.
"Kemarin suami saya, tiba-tiba jatuh waktu keindahan nikahan
salah satu guru disekolah ini. Nah setelah diperiksa ternyata dia terkena
stroke. Sejak saat itu banyak makanan yang jadi pantangan, makan tidak bebas
lagi." Cerita ibu kepala sekolah, karena melihat kami berseragam IMS.
Gua tidak mengerti diskusi tentang penyakit karena ini bukan
bidang gua, jadilah gua serahkan seluruh alur pembicaraan kepada mas khotib
karena dia jelas lebih paham. Pada intinya, ketika diberi nikmat lebih makanya
janganlah kita terlalu berlebihan dengannya. Contoh terdekat adalah suami sang
ibu kepala sekolah, ketika sehat semua makanan dimakan bahkan sampai jumlah
yang banyak. Setelah sakitpun masih menyempatkan diri menikmati makanan yang
menjadi pantangan akhirnya rumah sakit adalah solusi.
"Kebetulan kami punya kebun duren jadi tidak perlu beli.
Karena gratis anak saya makan sepuasnya, enggak tau ada mungkin 5 buah sendiri
akhirnya dia gabisa gerak semua anggota tubuhnya kaku." begitulah sudah
jelas segala sesuatu yang enak dan sehat jika dimakan berlebih juga bisa
menjadi penyakit.
Kami bicara banyak dengan ibu kepala sekolah yang sudah 17 tahun
mengabdi berpindah-pindah beliau sangat humoris, dia tahu cara menghibur kami
yang sedang lelah. Beberapa waktu menunggu makan siang tidak juga datang
dokter mengajak kami untuk melanjutkan baksos karena masyarakat sudah
banyak mengantri dibawah. Aku dan mas khotib segera turun untuk melanjutkan
kegiatan meski perut belum terisi.
Lapar jadi hilang ketika masyarakat tiada henti silih berganti
datang dengan berbagai keluhan. Gua bahagia bisa memberikan sedikit tenaga
untuk memberikan senyuman pada masyarakat korban bencana banjir Bandung. Waktu
sudah menunjukkan pukul 15.00, gua tidak tega melihat dokter Maldwin melayani
pasien hanya seorang diri ditambah lagi beliau belum makan siang.
"Mas kita harus tutup, kasian dokter belum makan siang."
Gua berbisik pada mas Khotib.
"Iya sedikit lagi." Jawab mas Khotib
"Bukan masalah sedikit, orang-orang terus datang. Lama-lama
dokter yang jadi sakit siapa yang mau ngobatin?" Gua sedikit meninggikan
nada karena gua juga merasakan hal yang sama, lapar. Di meja juga masih banyak
resep yang belum disiapkan, bersama beberapa orang dari RW menyiapkannya disaat
bersamaan mas khotib langsung membawa dokter ke ruang atas untuk makan siang,
gerbang sekolah juga ditutup pertanda kegiatan ini sudah selesai.
Gua merapikan obat-obatan yang tersisa, dibantu mas Awal. Lima
belas menit berselang semua sudah masuk kedalam ambulance. Perut keroncongan
belum terselesaikan, Gua belum makan siang, tapi kami sudah harus pamit dokter
dan mas khotib sudah siap untuk berangkat pulang.
“Baiklah semua terimakasih atas bantuan dan tempatnya.” Ujar mas
Khotib pada pihak sekolah yang sedang berkumpul untuk mengantarkan kepulangan
kami.
“Kami yang terimakasih karena sudah dibantu, diberi pengobatan
gratis. Jauh-jauh dari Jakarta hanya untuk bantu kami.” Balas ibu kepala
sekolah. Gua membuka ikat rambut yang sejak tadi memaksa gua untuk tampil rapi,
ini syarat dari Dokter Fathul selaku Kepala Lembaga IMS.
“wah-wah si aa mah cocoknya jadi seniman atuh, atau main film.” Komentar
mas Mahmud, relawan local melihat rambut kribo gua kembali terurai, ditambah
lagi membuat banyak komentar dari guru-guru. Mungkin karena mereka sebelumnya
tidak menjumpai orang dengan rambut seperti ini.
Semua kemudian masuk kedalam ambulance elf yang beberapa tahun
lalu diserahkan oleh Permata Bank syariah untuk kegiatan sosial. Kami langsung
melaju untuk kembali ke Jakarta, penat memang terasa tapi lelah tidak akan
sampai ke tubuh yang sedang bahagia. Selesai sudah lama lagi ada kegiatan
seperti ini, gua harus menunggu IMS kekurang tenaga lagi untuk diajak lagi pada
kegiatan yang sama.
“Ngomong-ngomng aku belum makan siang ini.” Aku yang duduk sendiri
dibangku belakang membuka pembicaran melalui jendela kecil sebagai penghubung
ke bagian depan.
“Iya saya bawakan tadi nasi untuk kamu, ini.” Sebungkus nasi
diserahkan ke gua. Alhamdulillah akhirnya makan siang juga meski waktu sudah
menunjukkan pukul 16.40, makan siang sambil melesat pulang. Selamat tinggal
bandung… semoga tahun depan gua tidak kembali dengan kondisi seperti ini.
Komentar
Posting Komentar