Aceh Part 2: MA, Biarkan Pahit itu Tenggelam Bersama Angin yang Berhembus Kencang Diatas Awan ini

Mata terbuka, matahari sudah terang. Gua masih diatas awan, melihat keluar jendela. Saat kecil gua selalu berteriak dari bawah meminta agar pesawat menjatuhkan uang ke bawah, dan kini gua sadar mengapa uang yang saat itu gua tunggu tidak pernah jatuh. Seberapa kayapun orang yang berada dalam pesawat tak mungkin melemparkan uang keluar dengan membuka jendela. Baiklah gua mengaku salah mengharapkan pesawat menjatuhkan uang pada masa itu, entah siapa yang mengajarkan. Tapi kenangan saat berteriak berputar-putar diatas tanah liat tak berbatu di concong Riau pada masa itu adalah kenangan indah yang tersisa dalam ingatan. Kenangan pahit pula untuk Mama yang sering mendengarkan banyak hinaan atas kemiskinannya yang terus berjuang untuk membesarkan anak-anaknya.
"MA, biarkan pahit itu tenggelam bersama angin yang berhembus kencang diatas awan ini." Kini saatnya kita menari, berbahagialah MA, walau dalam kebosanan menunggu gua menjadi orang besar. Doakan anakmu, MA. Jangan lagi dalam tangis perih, berdoalah dalam tangis bahagia tanpa menyesali masa lalu.
Perut gua perih pada satu sisi, dua orang pramugari lewat tepak waktu membawa troli berisi makanan,
"Mbak, ada pop mie?" Gua menghentikan langkah mereka
"Enggak ada mas, nasi lemak mau? Sedap lho nasi lemaknya?" jawab salah satu dari pramugari.
"Coba lihat. Berapa harganya?" gua mengambil nasi lemak yang ditawarkan.
"50 ribu." wow wow, bisa makan lima orang kalau di cawang dengan lauk mewah dengan nasi uduk sepagi ini.
"Oke boleh satu." dengan wajah kalem hati mendesah, karena perut sudah perih.
"Kami hangatkan dulu mas." mereka berlalu lima menit kemudian kembali,
"Ada minumnya?" Kalau tersedak mau minum apa gua? Hanya ada nasi lemak.
"Ada, mau air mineral atau apa? Mineral 15rb." Mahalnya, wajarlah ini dagangnya di udara bukan didarat. Dikepala gua terbersit air mineral berukuran sedang. Mama gua tawari makan dan minum tidak mau. Biarlah minum untuk berdua.
"Ini mas." oh wow wow botol kecil, ya tak mengapa. Kalau tersedak dengan botol kecil ini, leher tetap aman nanti. Jadi dagang di udara itu serba mahal, maklum baru kali ini jajan di atas awan. Oke mari makan!
Gua mengajak Mama makan bareng dengan sekepal nasi lemak serta minum sebotol kecil. Jadilah kami makan berdua, biar ini memperbaiki kecanggungan kami. Deru mesin pesawat masih jelas terdengar, tak tahu ini sudah jam berapa? Dan dimana? Handphone sejak tadi gua matikan.
Disini gua yang menempati bangku 36A tepat disisi jendela bang Yanis, kami sempat bicara banyak ketika pesawat lepas landas. Perkenalan seperlunya saja, orangnya ramah membuat kami mudah akrab.
"Transit dulu kita," Kata Bang Yanis,
"Iya bang, baru kali ini aku naik pesawat transit." dalam hati gua menebak-nebak bagaimana proses transit, berhenti langsung berangkat, atau berhenti lalu menunggu lalu berangkat, atau mungkin berhenti menunggu lama baru berangkat. Sudahlah, lihat saja nanti.
Akhir kami berputar diatas Medan, pesawat miring ke kiri lalu turun dengan cepat, nampak jelas kami menerobos awan, perlahan gua melihat laut serta gundukan hijau daratan, kami terus melesat turun. Sawah-sawah serta kubangan air mulai nampak jelas, roda pesawat  menghantam tanah disertai guncangan kecil, penahan laju penahan laju pesawat di bagian sawat terbuka, perlahan kami berhenti,
"Para penumpang yang terhormat, selamat datang di Medan, kita telah mendarat di Bandar Udara Kualanamu, kami persilahkan kepada anda untuk tetap duduk sampai pesawat ini benar-benar berhenti dengan sempurna pada tempatnya dan lampu tanda kenakan sabuk pengaman dipadamkan." Akhirnya sampai juga di Medan, gua menyalakan handphone kemudian beranjak keluar.
Sesampai diluar gua memberi kabar pada Abang Dul, jika kami sudah sampai di Medan dan 1 jam lagi baru akan sampai, waktu di handphone menunjukkan pukul 7.17,
"Ayo bareng aja kita ke ruang tunggu." Bang Yanis menarik gua, tapi Mama tidak bisa terburu-buru. Kami terus berjalan memasuki bandara kemudian menuju ruang tunggu. Gua sudah lama bermimpi ke Medan sejak kecil, danau Toba merupakan mimpi ketika SD. Tapi sampai hari ini gua belum juga sampai, kali ini pun sama gua masih harus transit ditempat impian, Medan.
Ternyata kita cuma perlu mengikuti arahan yang telah tertera di dinding-dinding bandara, ada tanda panah yang bertuliskan pindah pesawat/transit, sampai kami menemukan ruang tunggu untuk penumpang transit. Lumayan jauh, gua melihat Mama agak lelah,
"Cape ma?" tanya gua dengan tersenyum,
"Capelaaa.." nada melayunya masih jelas, tapi tidak selelah hati mama menunggu kami dewasa ditengah cacian orang-orang angkuh bukankah begitu MA? Entah mengapa gua begitu sakit setiap kali mendengar cerita tentang bisikan dengki serta hinaan yang ditujukan pada Mama dari orang-orang masa kanak kami dikampung sana, bermacam kata-kata dilesatkan untuk Mama, yang saat itu menjadi wanita miskin dengan banyak anak. Apalagi nakal semua, mereka memperlakukan keluarga kami tidak sebagai manusia. Cerita yang gua dapatkan saja seperti cambuk yang terus menghantam hati sampai luka merekah, ditaburi garam.
Kami diharuskan untuk menyerahkan tiket ke petugas untuk di stempel atau apalah, baru tiket dikembalikan lagi. Bersama bang Yanis gua mengantri cukup lama, barulah dapat bagian.
"Tempat duduk aku berubah ini, tempat kau?" tanya bang Yanis dengan pelafalan huruf T yang khas, hampir mirip dengan Bali dan Lombok.
"Aku masih sama di kursi belakang bang. Abang ada kontak siapa tau disana kita jalan-jalan bareng" kami terpisah,
"Boleh-boleh, catatlah 081314xxxx, WhatsApp saja, nanti kalau ada rencana jalan-jalan kasih kabar." Ujar bang Yanis sebuah tawaran menarik. Ada orang daerah yang bisa menunjukkan jalan, gua tidak akan tersesat disana nanti.
Kami menuju bangku kosong diruang tunggu, gua mempersilakan Mama untuk duduk di satu bangku kosong sementara gua dan bang Yanis berdiri. Baru beberapa menit duduk, panggilan untuk para penumpang sudah kembali terdengar. Kami harus kembali berjalan jauh menuju pintu H, kasian Mama harus ikut berputar-putar. Gua melihat Mama tersenyum, Mama tersenyum juga karena mengerti tatapan gua yang mengasihaninya harus berjalan jauh.
Deru roda kembali berputar cepat, pesawat melesat kencang, kami kembali ke atas awan. Perjalan kami,
"One hour and four minutes," ya satu jam 4 menit kami akan sampai di tujuan sebenarnya.
Gua memejamkan mata, ternyata satu jam empat menit itu sangat cepat, kami sudah mendarat. Gua tidak lagi berjumpa dengan bang Yanis, setidaknya gua sudah menyimpan kontaknya. Gua melangkah keluar pesawat.
"Hoaaamm," gua merenggang seluruh tubuh setelah 4 jam lebih hanya duduk. Aura disini jelas terasa berbeda, kultur Islam jelas terasa sejak pertama kali turun. Desain bandara dengan kubah-kubah diatas nampak seperti masjid serta nama bandara Sultan Iskandar Muda International Airport, jelas menambah ciri keislamannya. Akhirnya gua tiba di kota serambi Mekkah, dimana agama Islam dimulai melalui jalur perdagangan, dan tempat berdiri pertama kali kerajaan Islam samudra pasai, cikal bakal Islam di Nusantara. Begitu buku IPS sejarah membahasnya saat gua duduk di SD dan SMP, Aceh juga terkenal dengan gas LNG singkatan dari Liquefied natural gas atau gas alam cair yang telah diproses untuk menghilangkan pengotor (impuritas) dan hidrokarbon fraksi berat kemudian dikondensasi menjadi cairan pada tekan atmosfer dengan mendinginkannya sekitar -160° Celcius. Begitulah penjelasannya kurang lebih,
"Halo, iya bang, udah sampai. Oke, oke" gua mengangkat telepon Abang Dul yang sudah menunggu di pintu keluar. Gua menuju tempat pengambilan bagasi, ada koper Mama yang dititip dibagasi. Selamat datang di Nangroe Aceh Darussalam, gua akan menikmati beberapa hari disini.

Komentar

Postingan Populer