SOEKARNO HATTA

Ada hari yang berbeda, pagi terasa lebih istimewa. Ada degup yang berbeda di jantung yang harusnya seperti biasa, tapi memompa begitu cepat dari biasanya. Agustus bulan yang akan jadi cerita baru dari perjalanan nanti. Seminggu kedepan ada kisah yang akan tercipta, ada teman baru, ada perjalanan baru.
"ayo berangkat, yang dari jakarta sudah dibandara. Yang dari bandung sejam lagi sampai." Kak saturi datang dengan seorang pria berkulit gelap, bertubuh tinggi.
"Hai Antoni,..."  Aku mengulurkan tangan
"Rian.." Namanya sama dengan aku, nama antoni hanya untuk sebuah candaan, tiap yang mendengar nama tersebut sembari melirik wajahku akan tersenyum, kalian taulah. Antara wajah dan nama samasekali tidak sinkron.
Aku mengambil rangsel yang sudah aku siapkan sejak semalam dikamar kost. Aplikasi Go-Car jadi solusi untuk kami bertiga menuju bandara. Aku suka pesan aplikasi Go-Jek dengan Go-Pay karena ada poin yang didapat serta potongan harga. Poin bisa digunakan untuk tiket nonton pertandingan sepakbola liga 1 indonesia.
Mobil yang datang blue bird, armada ini sudah bekerjasama dengan Go-Jek, Ini sudah ke sekiankalinya. Dua koper satu ransel sudah masuk bagasi, kami bertiga meluncur ke bandara Soekarno Hatta. Ada rasa gugup yang perlahan menyelinap, perjalanan baru. Tiga negara ASEAN akan aku kunjungi bersama puluhan orang peserta Tour dari berbagai Universitas. Aku masih sedikit gugup, kemacetan kecil dicawang atas arah pancoran karena ruas jalan menyempit akibat penbangunan LRT sedikit menghambat. Tidak banyak yang kami bicarakan sepanjang perjalanan, hanya tentang nanti, sembari berkenalan dengan Rian si pria pendiam dari Ciamis.
Kami sampai di bandara, kak saturi merupakan penghubung antara kami dengan panitia. Kami menunggu sudah 2 jam, waktu dzuhur sudah berlalu. Kami shalat bergantian untuk menjaga barang bawaan. Panitia belum ada kabar, katanya semua sudah dibandara tapi kami tak tahu masuk grup mana, ada tiga grup yang berangkat. Jakarta, bandung, Bogor. Kabar dari kak saturi pesawat kami berangkat jam 1an, Jadilah kami berangkat lebih awal, hanya 1jam perjalanan dari cawang ke Cengkareng. Sesampai dibandara tak ada siapapun.
Beberapa jam berlalu baru ada kabar jika kami masuk grup bandung, kaki melangkah beberapa kali salah menuju tempat pertemuan. Kak Saturi yant berhubungan langsung dengan panitia, dan dia sedikit salah menangkap percakapan. Beberapa kali salah lokasi kumpul peserta, akhirnya kami berjumpa. Aku lebih pendiam berjumpa dengan orang baru. Saat perkenalan seperti biasa nama Antoni akan terucap, panitia tak menemukan nama itu.
"disini tak ada nama Antoni?" Ujar seorang gadis berkerudung biru yang jadi panitia. Aku hanya tersenyum, Ini hanya guyonan semata, nama yang tertera di list peserta Putra Afriansyah itu namaku sebenarnya. Tidak banyak yang kami bicarakan, hanya sekedar perkenalan dan aku kaku untuk hal ini. Beberapa saat, salah seorang peserta menghampiri kami dengan sebuah buku tebal ditangannya "The Geography of Bliss" yang membahas kisah nyata petualangan seorang reporter penggerutu ke berbagai negara untuk mengukur tingkat kebahagiaan masyarakatnya. Cukup menarik tapi sudah lama aku tak membaca buku setebal itu, terakhirkali mungkin 7/8 tahun lalu.
"Afif," dia mengulurkan tangan. Kami berbicara ngalur-ngidul mencairkan suasana. Dia cukup pandai membaca suasana dan membuat aku lebih cair. Dia mudah akrab dengan peserta lain walaupun baru saling kenal, pribadi yang menyenangkan. Seringkali dia bertingkah bodoh hanya untuk sebuah senyuman serta tawa riang orang lain. Orang seperti dia, biasa memiliki masalah besar di masa lalu atau tingkat kebahagiaan dirumah tidak sesuai harapan, bisa juga banyak harapan yang dibiarkan menjadi kekecewaan karena ketidakkuasaan mewujudkannya. Semua bisa jadi alasan. Baguslah bila segala ketidakpuasan dilampiaskan pada hal positif bukan memberontak dunia.
Baju tour dibagikan oleh panitia yang berisi tiga anak muda, rizki, firza, dan Ajay. Perlahan aku mulai mengenal satu persatu teman baru. Mereka mendata peserta bandung dengan seksama, penuh tanggung jawab. Mereka terlihat memiliki wibawa tersendiri, mereka merupakan orang penting di kampusnya bila dilihat sekilas. Aku kembali duduk dan berdiam, afif loncat sana-sini menghibur teman-teman dengan guyonannya yang penuh percaya diri.
'Rindu' mellow sekali. Buku karangan tere liye yang cukup tebal ditangan kak saturi menarik perhatianku. Sekilas aku membaca lalu mengembalikannya lagi. Sastra aku sangat mencintainya tapi tak pernah tahu bagaimana mengungkapkannya sama dengan perasaan-perasaan selama ini, aku merasakan tapi tak bisa mengatakan. Tentang rindu, bagaimana aku menahan rasa ingin bertemu tapi tak bisa juga hendak berjumpa. Bahkan meski sepandang mata bila ada yang jarak untuk kembali seperti biasa tetaplah ia rindu. Buku ini milik mas Rizky, dia remaja yang cerdas. Hobby membaca telah membuktikan jika dia berilmu luas.
Sebentar lagi kami akan berangkat waktu sudah menunjukkan pukul 16.00. Waktunya kami chek-in tiket. Panitia selesai mengurus proses check-in, aku melihat para panitia sedikit grogi,
"ini pertama kali ngurus-ngurus kaya gini, tapi sudah mulai terbiasa." ujar Rizqi diringi tawa nervousnya sembari menscan pasport kami satu persatu pada mesin print otomatis untuk mendapat tiket. Aku memperhatikan sekeliling, kak Saturi dan Rian tak pernah menjauh dariku. Aku tak banyak bicara dengan peserta lain, sampai tiba di ruang tunggu keberangkatan.
Kami sampai di imigrasi sebagian dari kami sudah saling berkenalan, mereka berbaur tampak begitu akrab. Aku masih proses memperhatikan mereka satu persatu, mengenali sifat mereka meskipun baru tahu sedikit. Aku harus tahu siapa lawan bicara agar tidak merusak proses dialog nanti. Tidak mengenal sifat seseorang akan membuat perbincangan jadi garing dan proses dialog jadi 1 arah dan membosankan. Paling penting aku tak ingin menyinggung perasaan orang lain.
Kami tiba di imigrasi, untuk cap pasport setelah sebagian lolos Afif lagi-lagi membuat keramaian,
"sini-sini semua foto," Aku mulai Menyukai pertemuan ini,
"Bang,  bang, tolong potoin. Kita mau bikin snapgram. Nanti tinggal pencet ini aja ntar jadi sendiri." Afif menyerahkan handphone padaku. Aku mengikuti perintahnya.
"ini pencetnya yang mana?" aku bertanya dengan wajah datar,
"yaaaahhh.........hahahaha"  Semua tampak kecewa tapi geli akan hal ini karena mereka sudah menunggu difoto tapi gagal. Afif datang melihat hasil, aku hanya berpura untuk mulai masuk ke suasana dan dunia mereka.
Beberapa teman melihat jadwap keberangkatan sembari melirik tiket. Setelah melihat jadwal penerbangan, pesawat kami dellay 1 jam yang seharusnya pukul 17,55 jadi 18,55. Bukan masalah! Kami menuju gate E7, aku jalan seorang diri mencari tempat duduk. Aku memilih duduk disisi dinding kaca, lapangan terbang yang luas dengan pesawat-pesawatnya ditambah dengan senja. Istimewa, apalagi dengan pengalaman baru. Perjalanan travelling dengan cara baru. Kini aku tak pergi sendiri lagi.
"bang, bang tolong fotoin aku deh." Sebuah suara mengacaukan pembicaraan hatiku tentang perjalanan ini. Kalau tak salah namanya reza, aku tersenyum dalam hati mukanya khas sekali sundanya. Aku punya teman SMP memiliki struktur wajah yang sama, jadi tanpa bertanya aku sudah tau, jika reza orang sunda tulen. Ditambah dengan logatnya, aku suka suara lembut, logat sunda. Mereka selalu terlihat sopan dan sederhana.
"Dimana?" Sebagian orang menatap kami, tampak nora atau berlebihan mungkin? Reza berpose sebaik mungkin dengan background pesawat-pesawat yang sedang parkir
"Buat bukti aja bang, kalau saya teh mau berangkat ke singapura-malaysia-thailand." Aku balas dengan senyuman, setelah berterima kasih lalu dia pergi. Gantian Afif datang, kami duduk bersama, mulai berbincang serius, saling berkenalan dan bertukar instagram. Dia sepertinya populer terlihat dari jumlah followers dan like ditiap post yang dikirimkan. Afif mahasiswa UNPAD jurusan Ilmu komunikasi semester akhir. Aku sudah tahu jika dia istimewa, dia punya kelebihan yang orang lain tak punya meski aku belum tahu pasti, tapi dari cara bicara saat serius seperti ini barulah kita tahu siapa lawan bicara kita. Keramaian hanya tempat menampilkan seperti apa kita hendak diingat dari saat berdua kita menunjukkan siapa diri kita sebenarnya.
"Ini buat kamu." Aku mulai tertawa sejak moment ini, Reza dia bertingkah gila. Memberikan bunga padaku yang dibawa seorang gadis tadi. Dia buat lelucon yang bikin semua peserta yang ikut tertawa meski tempat duduk kami berjarak. Perlahan afif pergi meninggalkan kami. Aku menyuruh Reza duduk dan kami mulai bicara.
"becanda bang." Aku mengangguk, wajahnya kalem tapi tingkahnya ugal-ugalan dasar Reza.
"Bang berani nembak cewe itu. Gua mau nyamperin cewe bang, lu bisa bantu gua kan?" ujar Reza, peserta lain yang tidak aku kenal masih asyik dengan tawanya. Bagaimana tidak, aku dengan tampang garang rambut kribo diberi bunga oleh laki-laki didepan umum. Menggelikan!
"Bantu apa nih?" Aku tak menghiraukan tertawaan teman-teman.
"nanti gua kesitu ngasih bunga lu bantu videoin ya, bisa bang?" Tanya Reza
"bisa." Afif datang. Lalu Reza menceritakan rencananya. Dua orang gila bertemu maka hal bodoh bukan mustahil.
"Cewe itu peserta kita juga?" Aku mulai penasaran.
"Bukan bang. Gatau gua juga ga kenal." Orang gila, Reza tingkahnya benar-benar kebalikan dari wajahnya. Dia langsung berjalan menuju si gadis yang memang tampak manis, Afif mulai berpindah sembari merekam aksi Reza.
Aku mulai penasaran, dari jauh aku memperhatikan apa yang terjadi. Bibir Reza berucap sesuatu di tanggapi dengan gelengan dari si gadis. Reza masih terus berucap sembari menyodorkan bunga, Afif asyik merekam dengan kamera hp Reza dari dekat. Beberapa saat kemudian dengan wajah penuh keringat Reza kembali mendekati aku. Dengan senyum kegagalan dia berucap,
“bang lu punya akun youtube ga?” Aku mengangguk.
“Jadi gini bang, gua ditolak. Nah gua mau bilang kedia kalau kejadian tadi Cuma Prank aja dari akun youtube lu, nanti prank ini bisa diliat diakun youtube lu bang gitu. Gimana menurut lu bang?” Aku jadi bingung juga dengan apa yang Reza maksudkan. Tapi berpura mengerti saja, aku menganggukkan kepala lagi tanpa sepatah katapun. Reza kembali menghampiri gadis tersebut disaat bersamaan waktu maghrib telah berlalu, aku segera menuju ke mushola yang tersedia di ruang tunggu. Mushola di tempat umum selalu saja kecil dan sempit, mungkin ini memang pantas menyesuaikan seberapa banyak orang yang masih melaksanakan perintah agama sebagaimana mestinya. Tapi jika waktu maghrib tiba yang jadi masalah hampir semua orang ingin melaksanakan shalat maghrib berjama’ah tapi tidak untuk waktu shalat lainnya. Tidak tahu kenapa tapi yang jelas mereka masih mau beribadah, menjalankan kewajibannya sebagai hamba. Mushola sudah padat, aku datang menjadi kloter kedua jama’ah shalat maghrib. Perjalanan akan jauh jadi aku sekalian menjama’ shalat isya.
Setelah shalat aku kembali ke bangku tadi, berpapasan dengan Reza yang hendak shalat maghrib.
“lumayan bang dapet ignya, dia tinggal di Singapore.” Lagi-lagi aku tersenyum, dalam hati berkata Aneh. Dulu aku pernah segila dia, jadi begitulah orang lain memandang aku dulu. Aneh!


Afif kembali duduk bersamaku, kami membicarakan tentang buku yang dia pegang. Buku itu mengisahkan seorang reporter yang datang ke berbagai Negara, dia melihat tingkat kebahagiaan tiap-tiap Negara dari sisi pandangnya. Sisi menariknya ialah dia mampu menuliskan kisah perjalanannya semenarik itu sehingga banyak orang tersihir dengan kisahnya, aku hanya membaca sekilas ingin melanjutkan banyak hal yang menghalangi dalam proses membaca hari ini misalkan handphone yang lebih menawarkan kelalaian yang membuat aku enggan berlama-lama membaca. Aku sungguh rindu untuk membaca lagi, berteman dengan buku seperti dulu, bahkan membaca mengalahkan hobby futsal. Tapi sekarang handphone dan internet telah menggeser semua itu, aku terlena dengan handphone yang terkadang membodohi. Bagaimana tidak aku bisa menghabiskan seharian hanya menatap layar handphone. Membuka instagram melihat video lucu, atau membuka facebook stalking status orang-orang yang pernah mengisi masa lalu. Kita bisa melihat namun tak sanggup hati untuk menyapanya bahkan sekedar dunia maya. Medsos telah membunuh kebiasaan baik yang selama ini aku punya yang Al-Qur’an anjuran iqra’ . Kadang aku membuka berita bola, yang sama sekali tidak terpakai untuk dunia kerja, selain sebagai argumen saat berdebat dengan kawan demi membela klub idola kami masing-masing.

“Ayo semua kita pindah ke ruang tunggu utama,” Ajak mas Rizky kepada semua peserta. Aku dan yang lain melangkah mengikuti perintahnya. Sebenarnya ada rasa jenuh karena aku datang jam 9 pagi dan harus berangkat jam 7 malam, seharian dibandara hanya untuk menunggu, jenuh. Aku tidak biasa menunggu, sejak sekolah sampai kuliah aku selalu menjadi orang yang datang terlambat, aku pernah menunggu tapi baru kali ini aku dibuat menunggu hampir seharian. Untungnya ini untuk sebuah pengalaman baru yang akan menambah daftar cerita yang ingin aku buat. Daftar kisah yang ingin aku tuliskan jadi dalam proses menunggu ini juga masih ada cerita yang bisa dikisahkan. Afif dan Reza mungkin dua orang yang sedikit menghibur dalam proses menunggu ini.

Sesampai dipintu masuk ruang tunggu gate E7 kami harus menunjukkan tiket dan passport, disaat kami sedang antri ada sekeluarga orang chinese muncul dari belakang sambil bercerita bahasa mandarin, suaranya lantang khas mereka. Menyerobot masuk ke antrian dan diberhentikan petugas.
“toilet.” Sambil menyingkirkan tangan petugas mereka berlalu, aku sedikit kesal. Apa ini budaya mereka atau bukan yang jelas dia tidak menghormati antrian serta petugas yang berjaga. Beberapa artikel travelling yang pernah aku baca turis dari china memang sering membuat masalah, entah bising atau keonaran lain. Petugas melirik aku sembari menggelengkan kepala, aku tersenyum sembari memiringkan kepala menandakan ketidak mengertian dengan cara mereka bersikap.

Ada dua orang berkacamata mengambil tempat duduk disisikiriku, yang satu sedikit gemuk dan berkulit hitam dan yang satunya kurus tinggi berkulit putih mereka berdua tampak cerdas. Tapi aku belum ingin menyapa mereka, aku belum ingin banyak bicara karena aku belum mengenal mereka. Sambil menunggu, live streaming pertandingan futsal TImnas menjadi teman. Belum berapa lama kami sudah dipersilakan menuju pesawat.
“Baru nonton sebentar udah berangkat ini. Semoga menang timnas ya ntar.” Aku berbicara dengan kak Saturi dan Rian.
“eh Timnas apa futsal atau bola?” Tanya seorang gadis berkerudung merah bertubuh sedikit lebih tinggi dari aku.
“Futsal.” Aku menjawab
“Semoga menang ya. Ada temen gue di Timnas Futsal, gue pengen ketemu deh pas sampai sana nanti.” Ujarnya dengan penuh semangat, aku hanya tersenyum kemudian berlalu menyodorkan tiket pada petugas. Jika sesuai jadwal malam ini kami akan menginap di Shah Alam, Malaysia.
Akhirnya berangkat juga setelah delay sejam, aku masuk ke pesawat langsung mencari seat 19F yang tertera ditiket. Aku menaruh satu ransel ke kabin. Seorang remaja berwajah ke arab-araban sudah duduk di seat tempatku.
“Sorry itu tempat gua,” Aku menyapa sambil sedikit tersenyum karena hanya itu yang tersisa.
“Tukeran mau?” Aku menggelengkan kepala  terhadap tawarannya. Aku ingin duduk didekat jendela agar bisa bersender, sebenarnya ingin melihat pemandangan langit tapi malam tiba mendatang gelap jadi percuma saja menatap langit. Dia bergeser ke seat 19E. Sesaat kemudian aku memejamkan mata, sambil perlahan mendengarkan percakapan beberapa orang dari kursi belakang cukup menarik. Dari suaranya aku sudah tahu jika ada dua pria dan satu gadis di kursi bagian belakang. Awalnya mereka membicarakan berbagai macam tema sampai masuk pada kalimat ‘Atheis’ entah mengapa aku tak sependapat dengan pria ini, aku tak tertarik untuk menengok. Hanya ingin menyimak. Beberapa kali dia berargumen tapi malah membantahnya sendiri, jadi jelas jika dia belum benar-benar meyakini ke atheisannya. Bahkan beberapa kalimatnya lebih condong jika dirinya lebih setuju dengan islam, terlebih karena dia terlahir dari keluarga muslim dan dididik secara muslim, begitu sekilas cerita yang aku simak. Aku terus menyimak sampai akhirnya aku benar-benar terlelap.
 

Komentar

Postingan Populer