SHAH ALAM

Suara bising membuat aku terbangun, tadi itu benar-benar tidur yang lelap. Lelah menunggu buat kantuk menjadi nyaman menemani perjalanan ini. Tidak terasa kami telah tiba di Malaysia, wajah-wajah bantal nampak pada para peserta yang belum semua aku kenal. Semua penumpang beranjak, akupun sama mengambil ransel mengikuti alur untuk turun. Letih seharian ini buat kami tak lagi punya banyak tenaga untuk berpikir serta bercanda ria seperti awal pertemuan. Kini tinggallah bagai air yang mengalir, mengikuti penumpang lain melangkah. 

Telingaku terasa pengang selalu begini setiap kali turun dari pesawat. Harusnya aku pakai earphone besar dengan musik keras supaya telinga tidak pengang akibat deru deru mesin. Ada suasana yang berbeda, akhirnya aku menginjakkan kaki di Tanah Melayu. Pengalaman baru seperti biasa memperhatikan sekeliling merupakan ritual wajib untukku, karena suasana akan menentukan segalanya. Ternyata KLIA tidak seramai Soekarno-Hatta, jika disana pasti banyak orang dan penumpang yang turun dari berbagai negara jadi ramai tapi disini sepi tak banyak yang lalu lalang kecuali sebagian kecil petugas bandara. Apa mungkin suasana ini karena waktu sudah malam.

"hei ini kita kemana?" kami saling tanya saat masuk dalam ruang bandara. Aku menatap anak panah mengarah ke kiri tapi beberapa orang penumpang ke kanan.

"setau saya ke kiri deh," jawab kak Saturi tapi dengan raut kurang yakin. Dia pernah ke Malaysia beberapa tahun yang lalu, mungkin bandara sudah berubah tak seperti dulu lagi. Sebagian peserta berinisiatif mengikuti penumpang yang tidak kami kenal, semua akan melakukan apa yang banyak orang kerjakan, itu yang buat aku ikut melangkah juga sembari menatap keluar. Suasana malam, deru mesin pesawat, ya suasana yang berhasil menghanyutkan aku. Padahal dulu ketika aku begitu mencintai pelajaran ips terutama geografi. Nama ibukota, keadaan alam, potensi, sosial, dan kebudayaannya merupakan bacaan wajib untuk dicerna, dalam khayal aku berharap untuk bisa keliling ke seluruh wilayah Indonesia dengan potensi alam dan keindahannya yang tiada tara, aku ingin seperti Ramon Y Tungka, traveller sejati yang sudah mengunjungi hampir setiap lekuk negeri ini. Pria cool yang bertualang dengan caranya sendiri, akupun sama ingin bertualang dengan caraku. Malam ini adalah kali Kedua aku dapat bonus melewati mimpi-mimpi masa kanak itu, aku bahkan tak terbayang mampu melihat negeri orang. Tahun lalu aku sempat sedikit nekat agak gila dengan mengunjungi Singapore seorang diri tanpa pemandu, tanpa tahu harus berbuat apa, tanpa persiapan, bermodalkan kenekatan. Kegilaan itu akan aku tuliskan juga jadi sebuah kenangan dan Malaysia, untuk pertama kalinya. Malam indah di KLIA, langit cerah walau hanya dengan sedikit bintang, tetap saja indah. Terimakasih tuhan telah memberi aku kesempatan.

Para penumpang yang tadi mengarah kekanan berputar arah, nampak salah jalan bukan kesini jalan keluarnya tapi peserta kami masih terus melangkah, tak ada tempat bertanya buat kami terus melangkah. 

"kayanya salah deh. Harusnya kita kesana." kata salah satu peserta. Langkah kami terhenti, tubuh gontai berpaling arah. Aku rasa panah penunjuk arah itu bukan pembohong, tidak mungkin dia tertiup angin berputar arah. Terlambat untuk menyadari. Bukan masalah ini Pengalaman pertama untuk kami jadi wajar jika hal bodoh seperti ini terjadi. Setidaknya menjadi sebuah tulisan untukku, walau sedikit geli mengingatnya. Kami berputar arah nampak afif masih ceria, mungkin dia manusia tanpa rasa lelah. Reza masih saja asyik dengan kalimat-kalimat cinta dari mulutnya, dia pujangga sejati. Aku banyak terdiam sembari melangkah lelah.
Poster SEA GAMES malaysia jadi daya tarik untuk para peserta, dia menghentikan langkah para peserta yang akhirnya silih berganti mengabadikan moment, karena tak setiap waktu kami berjumpa moment yang bertepatan. Apalagi ini sedang masanya instagram, gambar jadi pencerita terbaik, tak perlu banyak caption untuk mengatakan apa yang hendak diungkapkan. Bahkan aku yang awalnya pemalu, tak percaya diri, enggan menampakkan wajah yang terlampau tampan ini kini menjadi lumrah menampakkan diri di instagram bak para artis yang selalu mengabarkan kehidupan pribadinya setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik. Namun aku tak selebay itu, aku tak sejauh itu, aku hanya mencintai keindahan dan moment yang takkan pernah bisa dibeli oleh apapun sembari mencurah beberapa syair untuk setiap gambarnya agar menarik dan membawa pembaca masuk ke duniaku, mengerti pesan yang aku sampaikan, aku ingin bermanfaat. 

Sebagian teman-teman menaiki travelator, eskalator datar, ini untuk pertama kali aku melihatnya. Aku pikir itu untuk orang tertentu, mereka yang berkebutuhan khusus, lansia, dan sebagainya tapi sepertinya bebas siapapun boleh menggunakan. Aku dan beberapa yang lain tetap melangkah seperti biasa meski kaki terasa lelah, langkah demi langkah bergulir. Kaki terus berjalan, melangkah lagi dan lagi kami rasanya tak kunjung sampai, sejauh apa sebenarnya kami harus melangkah untuk tiba dipintu keluar? Apa karena lelah ini membuat terasa jauh atau memang jarak pintu keluar memang jauh. Akhirnya anak panah mengarahkan kami ke imigrasi, keluar juga.

Setelah pintu keluar semoga proses menunggu kami akan selesai, dan dalam bayangan, kami akan langsung disambut guide lalu mengarahkan ke penginapan dan aku bisa bersantai di hotel dengan air hangat kemudian terlelap di springbed empuk. Tapi bayang-bayang itu pupus tertiup hembusan ruang tunggu, semu, semu sekali bayang-bayang itu. Demi pengalaman baru aku hanya ingin menuliskan kisahnya dengan senyuman, bukan kecewa dengan keadaan, ini proses aku sudah biasa dengan kegilaan diperjalanan. Bertengkar dengan sahabat ditengah perjalanan ke bromo, kehabisan ongkos hingga harus mampir ke rembang untuk berhutang ke teman saat pulang dari lombok, kacamata jatuh kesumur saat cuci muka ditepi pantai Sabang, hp jatuh ke air laut karena keisengan seorang teman yang mendorong aku dari dermaga, kunci motor disita polisi lalu kabur karena sudah dol dengan meminjam kunci yang sama pada warga saat tiba ditegal. Semua sudah biasa dalam perjalananku, kegilaan adalah pemanis terbaik dan kali ini menunggu yang tak berujung jadi pemanis baru meskipun beberapa diantara kami mulutnya sedikit manyun, menggerutu. Wajah ketiga panitia menyadarkan aku betapa sulitnya mereka untuk melayani peserta sebaik mungkin, mereka masih belajar, ada banyak waktu, jika jam terbang sudah terpenuhi tour berikutnya pasti lebih baik. Wajah mereka penuh kebingungan, cemas, penuh pertanyaan dan ketidakpahaman. Konsentrasikupun sudah buyar, perlahan-lahan tak sanggup lagi memperhatikan sekeliling. Aku membuka hp, di jakarta tadi aku sudah mengaktifkan data roaming Asia. Jadi aku tetap terhubung dengan jejaring sosial dan internet. Cek IG, facebook, dan berita-berita whatsapp tentang penjualan toko, coba menghilangkan mood dengan bersosmed tapi percuma. Aku coba dengan game Onet untuk mengisi kejenuhan, agar kuota 2,5GB untuk waktu yang sangat panjang, 1 minggu ini cukup. Entah berapa lama lagi kami terdampar? Aku hanya kasihan menatap tiga panitia muda kami, mereka sendiri kebingungan belum lagi dengan raut wajah peserta yang lelah serta sedikit menuntut, mereka pasti tertekan. Beberapa sempat ingin menggerutu di sisiku tapi aku tak ingin semakin merunyamkan keadaan. Semoga ini takkan jadi pengalaman membosankan karena diawali dengan kejenuhan. Aku berdo'a dalam hati.
Tiba-tiba seorang wanita tua berparas india dengan suara tak jelas menggerutui kami yang sedang asyik duduk. Aku melihat wajah sekeliling, sebagian memiringkan kepala tanda kesal dan tak paham. Wanita dengan seragam cleaning service ini menggeser tempat duduk kami agar berjarak, tak ada yang membantunya yang kesulitan menggeser kursi besi panjang ini yang jelas sangat berat. Seorang pria membantunya diikuti oleh kami semua, melihat ia sangat kesulitan. Meski kami tak tahu apa alasannya, aku sempat terpikir jika dia tak memiliki rasa hormat pada kami, komunikasinya buruk sekali tapi ternyata wanita itu berniat baik. Sebelumnya kami duduk sesak tak ada jarak untuk meletakkan barang bawaan. Kini lega tak lagi berdempetan ada ruang untuk berjalan diantara kursi-kursi. Aku jadi mengerti, Kita kadang menilai sekilas sesuatu dengan amarah, padahal jika sedikit saja bersabar akan terlihat jika semua itu adalah sebuah kebaikan. Aku mulai paham dan terima kasih ibu tua, ini jadi lebih nyaman.
Konsentrasi yang buyar tak lagi membuat aku memperhatikan sekeliling juga waktu. Sekarang yang aku mau cuma air untuk mandi dan tempat tidur untuk rebahan. Baiklah onet tak membakar kejenuhan sampai hangus, aku tetap jenuh.

"Ayo bisnya sudah sampai." Ajay datang mengarahkan peserta untuk ikut dengannya. Aku dengan segera melangkah tak lagi memperhatikan sekeliling semoga tak sejauh jarak sebelumnya. Kami sampai di eskalator, tapi saat hendak melangkah turun. Cuma 5 orang dari total 38 peserta yang berada disini. Kemana yang lain? Seperti mereka sangat kelelahan dengan proses ini, aku cuma berharap kami tak terpencar. Beberapa menit menunggu, semua berkumpul kami turun dua lantai. Bis berlatar corak bunga warna pink dengan tulisan zeala, bas pesiaran. Aku paham artinya bis pariwisata kalau dalam bahasa kita. Seorang pria paruh baya, rambutnya sudah mulai memutih, tapi tubuh tegap. Dia bicara pada panitia, sembari memerintahkan kami untuk naik. Malam semakin larut, jika berlama-lama lagi semakin larut lagi.

Aku menatap kuala lumpur malam hari, bandara yang sepi, mungkin karena hari sudah gelap. Rian langsung tertidur, aku masih ingin melihat malaysia malam ini meskipun tak bisa mengembalikan semangat seperti awal lagi. Sisa-sisa tenaga saja yang bisa digunakan untuk membuka mata. Perjalanan dari daerah asal kami ke bandara Soekarno-Hatta sudah jelas menguras tenaga dan waktu, ada yang dari bandung, bogor, aku sendiri Jakarta ditambah dengan proses menunggu, ransel yang berat, jarak jalan kaki menuju pintu keluar yang jauh, kini kami jumpa lagi dengan bas pesiaran yang akan mengantarkan kami ke penginapan. Masih menunggu untuk sampai.

Mata tak bersahabat, ia terpejam, aku tak bisa menikmati keseluruhan malam dalam perjalanan ini. Tiba-tiba saja kami dibangunkan untuk istirahat makan, kami bebas ingin makan dimana. Ada beberapa opsi pilihan, kalau dijakarta ini kaki limanya. Waktu sudah menunjukkan pukul 1 pagi, hari sudah berganti. Bisa dibayangkan jam 9 pagi berjumpa dengan pukul 1 pagi kami masih belum berjumpa dengan kasur empuk untuk rebahan. Tahulah engkau penatnya perjalanan, demi pengalaman baru lanjut terus, menyalahkan keadaan takkan mendatangkan kenyamanan.

Aku melangkah ke tempat makan terdekat, Rian dan Kak Saturi tak lagi mau turun mereka melanjutkan kantuknya. Jadilah aku orang asing, tak ada yang dikenal selain mereka dengan Afif dan Reza. Jadilah aku penyendiri, ada beberapa peserta duduk dalam satu meja. Ada juga panitia ditempat yang sama, canggung rasanya ingin semeja dengan mereka kami belum saling kenal. Aku memilih meja sendiri kemudian melihat menu. Nasi goreng telor ceplok jadi pilihan. Penjual dan pelayannya berwajah india atau bangladesh karena wajah khas sekali. Benar saja mereka tak bisa bahasa melayu, aku kesulitan untuk bicara. Menunjuk menu pesanan jadi solusi, dia hanya bisa menyebut nama makanannya saja tidak dengan percakapan. Ingin pakai bahasa inggris, nilaiku saat dibang sekolah dulu hanya dapat angka lima saja sudah bersyukur. Dalam proses menunggu aku asyik dengan handphone berharap ada yang menyapa kemudian duduk bersama, aku tak biasa seperti ini. Aku melihat sekeliling mereka asyik berbincang, kasihannya aku. Untunglah kuota data terisi jadi aku masih bisa baca-baca berita bola.
"nase gohreng" "ais tea, ais teh" aku mengangguk. Begitulah dalam percakapan kami, yang penting antarkeduanya saling mengerti sudah cukup untuk disebut dialog begitu, bukan? Bersamaan dengan diletakkan nasi goreng dimeja kak Saturi datang. Aku memanggilnya untuk duduk menemani, ketika mencicipi nasi goreng rasanya sedikit berbeda dan porsinya jumbo. Jadilah kami makan sepiring berdua itupun aku tak bisa menyuap banyak, ini hanya syarat takut sebelum tidur nanti lapar menghampiri sedangkan tak ada makanan disana. Harganya tak terlalu mahal, sekitar 21ribu terhitung normal seperti di Indonesia. Kami kembali ke bis, beberapa peserta keasyikan istirahat, mereka berleha-leha dengan waktu padahal pagi menjelang. Driver tampak sedikit emosi, karena malam telah larut dan pagi nanti jam 6 jika sesuai rencana kami semua sudah harus siap berangkat mengunjungi tempat-tempat wisata. 

Tidak butuh banyak waktu, beberapa menit perjalanan kami tiba di sebuah rusun seperti di Jakarta. Bedanya disini ada satpam penjaga seperti perumahan-perumahan, dan tertata, serta bersih. Tidak ada kebisingan, malam tetap diletakkan sebagai malam disini. Penginapan kami di syeksen 7 letaknya di Shah Alam, Negeri selangor. Lelah sudah tak tertahan, hampir semua peserta melangkah tergopoh-gopoh dengan kopernya. Aku cuma butuh air untuk mandi dan tempat tidur.

"makasih pak ci," sapaku pada pria paruh baya itu saat melaluinya. Semoga meredakan sedikit amarahnya tadi.

"Same, istirahatlah. Besok pagi kite dah berangkat lagi." Aku senyum dan berlalu. Aku melangkah mengikuti para gadis, didepan lift.

"Eh laki-laki sebelah sana." Sial, sudah lelah, konsentrasi hilang. Jarak dekat terasa jauh. Putar arah lagi, sesampai didepan ruangan, kuncinya belum datang juga. Entah siapa yang ditunggu. Sampai seorang pria datang, bukankah dia yang di bandara tadi? Dia Abu, kepala panitia tour ini mungkin, dia sudah tiba lebih dulu rupanya. Dia coba buka pintu dengan kuncinya tapi tidak bisa juga. Aku yang jenuh dengan sedikit canda memparodikan orang marah yang coba mendobrak pintu, lumayan sedikit mencairkan suasana. Beberapa peserta tertawa, bukan lucu karena candaan tapi karena rambut anehku mungkin. Kedua kalinya dia muncul dengan kunci berbeda,  sampai disini saja, kami masih harus menunggu. Jelas saja kuncinya tidak bisa, dia salah ruang ternyata, sampai rambut beruban dan pelangi berwarna gelap juga pintu takkan terbuka dengan kunci itu. Ooooo, ini ruangannya, aku kira cuma satu kamar ternyata ini home stay. Tiga kamar satu ruang tamu dengan dapurnya dan dua kamar mandi, lumayan. Ini sudah seperti ukuran perumahan, jika semua rusun seperti ini pasti nyaman. Kami para laki-laki langsung memilih kamar, aku, Rian, kak Saturi dan seorang pria berusia 35 tahunan dalam satu kamar.

Sabun dan shampoo, kamar mandi, menu tepat tak usah lagi pikir dua kali. Langsung meluncur, segar sekali. Para peserta mulai saling bicara dan berkenalan. Ada sebagian yang istirahat diruang tamu sembari nonton tv. Waktu menjelang pagi, beberapa diantara kami istirahat di ruang tamu. Mata jadi segar, Apa tadi hanya jenuh? Ada ketukan dipintu, suara perempuan. Saat pintu terbuka,

"boleh numpang tidur disini ga? Kami ke kunci. Udah digedor-gedor tapi enggak ada yang buka." Seorang gadis berhijab dengan tahi lalat dipipi, manis. Gadis yang tadi bertanya skor timnas futsal juga bersamanya dan beberapa yang lain. Jadi pertanyaan, bukannya mereka naik bersama keatas? Jikapun tertinggal, setau aku perempuan lebih rumit dalam perawatan diri. Mana mungkin mereja setelah mengunci ruangan kemudian langsung tertidur. Aneh rasanya! Sudahlah hari yang lelah, para Lelaki dari kamar sebelah dengan sigap mempersilakan mereka menggunakan kamarnya. Jadilah sebagian para lelaki yang berjumlah 19 orang tidur menumpuk diruang tamu. Bagiku wanita itu hidupnya lebih mudah 70%, kesulitan macam apapun bisa diselesaikan dengan cepat apalagi dihadapan para lelaki yang memang berjiwa pahlawan kala dihadapan perempuan. Andaisaja para lelaki yang terkunci, tidak mungkin seperti ini, pertama sulit dapat izin dari para gadis, pastinya kami dicurigai akan berbuat macam-macam, padahal kadang hanya sedikit niat saja walau memang ada. Kedua gengsi kami akan buat kami lebih rela begadang diluar sembari ngopi hingga pagi dibanding meminta bantuan agar terlihat kuat lalu keesokan hari kami layaknya zombie, demi jadi lelaki sejati.

Jadilah para gadis itu tidur disalahsatu kamar paling nyaman ditempat kami, sebuah ruangan dengan AC, kasur lebar, serta kamar mandi didalam. Mudah bukan jadi perempuan? jika ada perempuan yang tidak mensyukuri dirinya pasti ada yang salah dengan caranya melihat diri sendiri. Semua perempuan adalah keindahan yang bisa menyihir apapun. Bahkan yang terhebat dia bisa merubah dunia, sudah banyak bukan karena perempuan dunia berubah? R.A Kartini, Cut Nyak Dien, ini hanya beberapa dari dalam negeri dan banyak lagi selain mereka berdua. Jadi jika suatu negeri ingin menjadi kuat, haruslah ada ibu-ibu yang hebat dibalik anak-anak yang akan membuat perubahan. Ibu yang menjadi guru terbaik. 

Aku mengambil beberapa pakaian kotor untuk dicuci, kebetulan home stay ini menyediakan mesin cuci juga. Lumayan, hitung-hitung menghemat pakaian. Ada juga kopi dan mie instan disediakan tapi berlabel harga, kami memang tidak diawasi namun kejujuran yang utama. Luar biasa, jika saja semua home stay di Indonesia seperti ini pasti nyaman banget. 


Aku lebih memilih menggelar selimut tebal dilantai agar lebih luas, meski bisa tidur di ranjang. Selamat malam, Shah Alam! Penat tak tertahan menggiring aku untuk lelap benar-benar hilang dari hiruk-pikuk.

Komentar

Postingan Populer