Sumedang Part 2: Ada Kisah Mistis di Cadas Gantung

Alarm berdering dengan keras, mata perlahan terbuka. Astagfirullah! Gua lupa jika besok hari penting teman-teman, besok mereka akan melaksanakan wisuda. Walaupun gua gagal wisuda tahun ini, gua sudah janji akan menghadiri wisuda mereka. Maafkan gua, kecil kemungkinan gua akan hadir. Moment ini tidak terulang 2 kali, tapi keadaan tidak memungkinkan. Selamat pagi sumedang, gua melepas selimut yang melingkar ditubuh. Menuju kamar mandi lalu shalat subuh.
Pagi ini gua tidak bisa tidur, blogger diselingi dengan game serta musik jadi menyenangkan hingga matahari terbit. Gua konfirmasi dulu pada irul tentang ketidakhadiran. Ada sedikit sesal tidak bisa hadir di acara wisuda mereka. Selamat telah kalian berhasil mencuri S, kom dengan kerja keras yang luar biasa. Menjelang siang mata kedatangan kantuk, Kak Wahyudi dan istrinya pergi kepasar pagi. Gua memejamkan mata. Udara dingin walaupun mentari telah terbit cukup tinggi buat tidur gua tetap nyenyak.
"bangun ting, bangun makan dulu ayo." suara kak Wahyudi perlahan tapi jelas terdengar membangunkan gua dari nyenyaknya tidur. Makanan sudah tersedia, kebetulan pagi tadi hanya minum susu jahe dan kue-kuean. Makanan yang tersedia buat gua begitu bersemangat, ada sop kambing, sapi goreng kecap, terutama sambal. Gua mencuci muka langsung mengambil posisi terbaik. Udara dingin ditempat ini buat gua semakin bersemangat. Kali ini tidak cukup sekali nambah, berkali-kali nambah buat gua sulit bergerak. Perut kenyang, rebahan seperti menyenangkan, tapi gua belum menyiapkan dua pesanan buku yang akan dikirim ke bandung dan majalengka.
Buku siap, gua kembali ke kasur empuk kembali memejamkan mata. Mudah sekali memejamkan mata ditempat ini, belum banyak yang berubah hanya tambahan bagian belakang rumah yang buat rumah ini semakin luas. Peliharaan kak Wahyudi bertambah dulu ada kucing anggora, kucing biasa, sekarang ada tambahan anak bajing, bentuknya sebenarnya mirip seperti tikus. Gua tidak geli memegangnya karena memang terlihat lucu dan bersih. Pohon cabe masih banyak disisi rumah, kandang kambing juga dibuat lebih luas. Belum lagi banyak burung peliharaan digantung pada atap-atap teras. Suara merdunya buat mata gua mudah terpejam dan tidur dengan nyenyak.
Gua dibangunkan oleh adzan ashar yang berkumandang dari mushola yang berjarak 300 meter dari rumah ini. Kali ini gua pergi ke kamar mandi untuk membasuh seluruh tubuh, mandi agar segar sejak kemarin gua belum mandi. Udara sejuk, air dingin membuat gua malas menyentuh air. Selepas mandi kak Wahyudi juga sudah bangun.
"Ayo kita jalan-jalan sore, sekalian ke JNE." Dari sini JNE akan lebih cepat mengirimnya dibanding dari depok atau jakarta. Bersama anaknya yang lincah icha kami berangkat dengan motor vario, kembali harus melalui jalanan yang rusak. Goncangan dan kelokan-kelokan ini menyenangkan ditambah lagi pemandangan sisi kiri jalanan perbukitan hijau, gua tidak terlalu pandai dalam mengambil gambar. Tapi dikepala gua bermain jika bisa mengambil gambar dengan drone, hasilnya pasti luar biasa. Tempat ini keren banget!! Kami pergi ke Alun-alun sumedang karena JNE berada disekitar sini, bandung dan majalengka. JNE kebandung sehari sampai kena biaya 14ribu, sedangkan ke kampung maja kena biaya 22ribu. Kak Wahyudi bersama icha ditepi jalan, gua menghampiri mereka,
"ngapain om?" tanya gua melihat mereka sedang memperhatikan sesuatu dengan serius.
"serabi, belum pernah cobakan lu." jawabnya, sambil menunjuk serabi yang sedang dimasak.
"biasanya kan lu makan yang manis, nah ini makannya pake sambel. Udah nanti coba aja." tambahnya lagi, kami berkeliling alun-alun. Sempat juga melihat masjid Agung saat pertama kali ke sini gua mampir ke dalamnya untuk janjian sama kak Wahyudi dulu. Kami mampir ke minimarket, mencari beberapa minuman dingin serta jajanan untuk icha.
Kami kembali, kemudian kak Wahyudi mengajak gua untuk berhenti di satu tempat menarik disisi tebing, cadas Gantung. Cadas yang berada tidak jauh dari rumah kak Wahyudi masih dalam satu desa. Dicadas tersebut, ada sebuah rumah kosong yang hanya tersisa kerangkanya saja. Ada cerita mistis dibalik bangunan tua ini,
"Rumah itu sudah kosong soalnya dibawahnya ada goa. Menurut cerita orang sini disana ada ular berkepala manusia yang jadi penunggunya. Kalau lagi hari-hari tertentu banyak orang dsri luar sumedang yang datang kesini untuk minta-minta disitu kadang naro sajen macam-macam. Pada tahun 2002 waktu saya masih SD mungkin ada satu kejadian mistis, waktu ada gadis umur 18 tahun lewat rumah itu nah dia disamperin sama seorang pemuda ganteng terus diajak ke dalam rumah. Didalam rumah, mereka ngobrol-ngobrol sambil makan-makan kue, ternyata yang dimakan itu bukan kue tapi dalemannya ular. Setelah kejadian itu si gadis langsung sakit, sakitnya aneh banget. Kaki si gadis itu ngerapet jadi satu dan bersisik kayak ular dan si pemuda itu ga muncul lagi, orang-orang bilang pemuda itu pangeran ular." Gua menyimaka cerita istri Kak Wahyudi dengan khusyuk, ada rasa penasaran. Rumah tadi itu memang tampak berbeda, ada sesuatu yang menarik untuk ditelusuri tapi gua tak ingin ikut campur atau kepo lebih jauh cukup mengetahui ceritanya saja.
"Gadis itu udah dibawa kemana-mana tapi ga sembuh juga, pernah dibawa balik kerumah itu terus dimandiin disana katanya biar sembuh juga, hingga berbulan-bulan lamanya tapi gadis itu ga sembuh juga sampai akhirnya dia meninggal. Kata orang-orang lagi, gadis itu dijadikan ratu ular oleh pangeran ular. Tempat mereka ya di goa itu. Kalau para petani atau orang yang kerja pulang dalam keadaan pikiran kosong biasanya sering liat penampakan ular besar disekitaran goa dengan kepala manusia."  Gua masih terus menyimak cerita ini entah nyata atau sekedar dongeng masyarakat sekitar.
"terus rumah itu sebenarnya tadinya bangunan utuh dan bagus, sering dipakai untuk acara-acara dangdutan tapi lama  kelamaan sering dipakai sama muda-mudi buat pacaran dan buat yang gabener-gabener dah. Tetua sekitar gerah sama kelakuan muda-mudi yang udah ga bisa diarahin lagi, akhirnya rumah itu dibakar biar ga ada lagi yang pacaran aneh-aneh disitu." Cerita berlanjut, ternyata begitu sejarah rumah ini sehingga hanya tersisa kerangka beton saja.
Gua menikmati pemandangan disekitar rumah kosong ini, tapi gua tidak berani turun ke bawah menuju goa. Hari sudah senja, pemandangan sekitar perbukitan yang bisa gua nikmati, pohon dan hembusan angin sore itu selalu memberi rasa rindu. Tidak tahu kemana rindu ini mengarah yang jelas sedang ada rindu menyelinap perlahan dalam hati. Dari sini jelas terlihat pemandangan alam yang mengajarkan kita untuk bersyukur, bersyukur dengan hidup yang sedang dijalani, bersyukur dengan tidak merusak mereka agar tetap bisa dinikmati, bukan jadi apa yang sering disebutkan dalam Al-Qur'an, 'perusak dimuka bumi'.
Setelah puas mengambil gambar dan berputar-putar ke sekeliling rumah yang tepat  ditepi tebing, kami kembali pulang. Sesampai dirumah mertua kak Wahyudi dan yang lainnya sedang asyik menemani sore dengan bualan-bualan senja mengisi kekosongan setelah lelah bekerja seharian. Istri kak Wahyudi menghidangkan serabi yang tadi dibeli, dijakarta gua pernah makan serabi tapi serabi polos pakai kuah gula dan santan. Serabi ini berbeda ada empat jenis serabi yang kak wahyudi beli, serabi dengan taburan coklat diatasnya, kedua serabi polos, ketiga serabi taburan keju, dan yang keempat serabi telur. Jenis serabi terakhir yang gua cicipi, cara makan serabi ini dengan sambal oncom. Serabi yang dibagian tengahnya tampak ada telur ceplok. Ini pertama kali gua mencobanya, rasanya aneh apalagi dimakan dengan sambal oncom. Lidah gua tidak sanggup lagi menelan serabi yang hanya setengah saja sanggup gua habiskan. Gua menyerah! Tapi kak wahyudi tampak sangat menyukainya.
Matahari perlahan mulai tenggelam meski belum seluruhnya, gua asyik dengan game di handphone menunggu maghrib.
"Om kiting, ini minum dulu. Air aren, seger banget deh ini. Mumpung masih panas, lagi enak-enaknya." ujar istri kak Wahyudi yang sedang menanti kelahiran anak keduanya. Setahun yang lalu gua jiga sempat mencobanya, mertua kak Wahyudi juga hebat dalam membuat gula merah dari Aren. Air aren ini, asal gula merah yang sedang dalam proses pembuatan. Gula merah yang kita biasa beli ternyata pembuatannya tidak mudah harus melalui proses yang cukup panjang, selain proses masaknya dilanjutkan proses pencetakan dengan media bambu yang dipotong sesuai ukuran yang kita inginkan, kita kembali harus menunggu hingga kering baru dilepaskan dari bambu. Segelas aren hangat, seruputan pertama memberi kehangatan yang berbeda di senja yang sudah mulai terasa dinginnya perbukitan. Selamat sore sumedang!

Komentar

Postingan Populer