Garut Part 1: Korban Banjir Bandang, Dia Ingin Terlihat Kuat
Ada sedikit gangguan buat gua terbangun pukul 04:05, setelah itu gua terjaga hingga pagi. Menyelesaikan permintaan pak faiz, pimpinan IMS agar mengirimkan berita pelayanan kesehatan kemarin. Kami menginap disebuah penginapan dengan harga 225ribu/kamar, satu kamar kecil ini kami isi dengan 4 orang dengan hanya ada 3 kasur yang cukup untuk 3 orang. Ini sudah biasa, kadang kami juga cuma numpang menginap di rumah masyarakat atau di masjid-masjid.
Pagi menjelang sarapan datang, gua menatap keluar jendela kaca, pegunungan dengan awan-awan pagi begitu indah. Saat berada pada suasana seperti ini, seringkali gua bertanya pada diri sendiri? Kemudian bagian mana lagi yang buat gua tidaj bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan. Sedikit ujian terkadang terlalu berat sedang nikmat yang mengalir tiada henti buat terlena, lupa cara berdo'a.
Setelah sarapan dan mandi pagi kami langsung menuju posko kering, tempat seluruh tim Hidayatullah Peduli berkumpul ada SAR Hidayatullah yang membantu masyarakat merapikan jalanan serta rumah-rumah dari puing dan lumpur, ada Baitul Maal Hidayatullah lembaga Amil zakat yang ikut turun juga dalam pengumpulan dana bantuan bagi masyarakat korban bencana, serta tempat gua bernaung Islamic Medical Service Lembaga Kesehatan Nasional yang fokus memberikan bantuan bagi korban bencana diseluruh indonesia.
Berhenti sejenak untuk membicarakan kegiatan hari ini, kami kedatangan bantuan dari jakarta yaitu Dr. Syaif dan Dr. Joko yang siap memberikan bantuan pelayanan kesehatan hari ini. Kami langsung berangkat ke lokasi setelah semua berkumpul, saat perjalanan kami berpapasan dengan bantuan tenaga dari BMH jawa tengah yang datang dengan 3 mobil. Kami tetap melanjutkan perjalanan, kampung cimacan sudah membaik sebagian jalan sudah tampak kering. Tapi wajah lelah, pasrah, bingung, masih tersuguh di posko pengungsian. Masih ada duka yang melekat, hari ini 31 jenazah sudah ditemukan masih ada 20 korban yang sedang dalam pencarian. Kesedihan macam apa yang sedang mereka rasakan, bukankah sedih ini seperti mimpi, mimpi pada tengah malam dan pagi menjelang saat sadar semalam itu kenyataan.
Tiba di lokasi yang kami jadikan klinik umum dadakan disebuah rumah warga,
"Kalau TNI yang kerja pasti selesai, enggak setengah-tengah." Kata Dr. Joko saat melihat TNI masih mengangkut-ngangkut puing yang tersisa. Dalam hati gua gua mengatakan hal yang sama. Kemarin ada satu TNI yang sudah sangat kelelahan,
"bapak kenapa?" dia sudah terduduk didepan posko kesehatan, Gua menghampiri seperti dia akan menyerah. "Mata saya tiba-tiba kunang-kunang, kepala pusing banget." ujarnya. Gua langsung mencatat namanya pada kertas resep lalu mencatat keluhannya agar dia mendapatkan obat tapi,
"ada minum?" katanya sang TNI, seorang ibu memberikan minum. Dia segera bangkit setelah minum sedikit?
"Bapak minum obat dulu biar sembuh, pak istirahat dulu saja." Gua coba menahan dia, tapi dia diam saja langsung kembali lagi ke lapangan mengangkat puing-puing. Tenaga macam apa mereka ini pantas memang mereka jadi pembela negara. Gua selalu manaruh kekaguman pada TNI, disiplin, solidaritas yang tinggi serta pantang menyerah, gua kagum.
Dr. Joko yang aktif mengorek informasi buat gua ingin ikut mendengar kisah yang terungkap. Si ibu pemilik rumah mulai berkisah ada satu cerita yang mengiris hati gua. Bila boleh menangis biarkan gua menangis pagi ini, ijinkan gua menangis.
"Paman saya yang itu," Sambil menunjuk kebagian teras rumah. Tampak seorang kakek sudah tua renta sedang memasang pacul pada gagangnya, wajah tanpa ekspresi, kosong. Iya matanya tidak bercerita apa-apa, menakutkan. Apa seperih itu yang dia rasakan, hingga pandangannya saja kosong tidak bernada. Gua tidak merasakan irama dari semua gerakannya. Hanya sebuah gerakan ketiadaannya, beberapa pacul bantuan telah dia selesaikan untuk digunakan sebagai alat membersihkan lumpur dirumah-rumah warga juga pencarian korban.
"Anaknya, dan dua cucunya belum ketemu, mereka hilang terbawa arus." Gua menjaga airmata agar tidak terjatuh. Mimpi apa kakek tua itu sampai-sampai ketiga orang yang dia cintai itu harus pergi darinya dalam waktu bersamaan, dalam satu waktu yang menyakitkan. Cepat bangkit kakek, hentikan pandangan kosong itu, gerakan tanpa iramamu, masih ada hidup yang harus berjalan.
Hari ini kami banyak kedatangan relawan yang terkena luka beling dan paku, mas Mukh serta Dr. Syaif siaga selalu membersihkan luka, memberi Betadine, mengusapkan salep luka, dan menutup luka dengan perban. Gua selalu bahagia melihat mereka yang datang ke posko kami dengan rasa sakit kemudian pergi dengan rasa senang karena pelayanan kami. Seorang bocah usia 12 tahun muncul ingin membuka perban luka jahitan ditangannya,
"Ini keponakan saya pak dokter, ayah dan kedua adiknya belum ketemu juga." Ujar ibu pemilik rumah.
"Kamu sekarang tinggal sama siapa?" Tanya Drg. Joko dengan halus padanya sambil mengusap kepalanya.
"Ibu." Sambil menunduk dia menjawab pelan, ada perih yang disematkan dalam suara yang ia keluarkan barusan. Dialog berlanjut, matanya berkaca-kaca menahan air mata, dia menengok perlahan mengalihkan wajah kemana-mana agar mata yang berkaca itu tidak tampak. Dia ingin terlihat kuat. Gua terbawa suasana, kami semua terdiam seperti tersihir untuk ikut dalam duka yang dia rasakan. Gua tahu rasanya kesendirian tak ber-Ayah, karena gua tidak pernah mengenal sosok ayah, wajahnya pun tidak. Hanya sebuah nama yang mengatakan jika dia adalah ayah gua.
Senja datang dengan guyuran hujan, membersihkan kotoran-kotoran lumpur yang tersisa. Gua dan yang lain sudah harus kembali, kami cukup sampai hari ini dan harus kembali ke Jakarta. Nanti kami akan kembali lagi saat recovery jika memang ada instruksi. Rasanya tidak ingin berpisah dari posko kesehatan, besok pasti lebih banyak lagi orang yang membutuhkan layanan kami, tapi surat perintah hanya sampai hari ini.
"Ibu terimakasih, bapak terimakasih, terimakasih atas tempatnya. Maaf kalau kami sudah merepotkan." Gua pamit dengan pemilik rumah,
"Iya nanti kembali lagi ya kesini. Rumahnya siap selalu untuk jadi tempat berobat warga lagi." Ujar ibu pemilik rumah. Gua langsung mengangkat obat-obatan ke mobil yang sudah bisa masuk.
Kami kembali ke posko kering tak ada siapapun disana, kami menuju masjid untuk shalat Maghrib yang sudah lewat, ditengah jalan berjumpa dengan salah seorang anggota BMH,
"Pada kemana yang lain?" Tanya mas Mukh
"Mereka refresing dulu mandi air panas setelah selesai tugasnya." Kami mengangguk, iya mereka bekerja sangat keras sejak hari pertama bencana. Membersihkan lumpur dan puing-puing mengeluarkan tenaga yang besar dan memberi rasa lelah yang sangat, wajar jika mereka butuh bersantai setelah tugas selesai.
Setelah shalat di masjid At-Taufiq di jl. Patriot kami kembali ke posko, yang lain sudah kembali. Kami makan malam sambil berbincang tentang pengalaman dilokasi bencana. Pada akhirnya kami harus berpisah dengan tim Hidayatullah peduli. Kami berpamitan saling melemparkan doa untuk keselamatan masing-masing.
Mobil melaju lalu berhenti pada satu tempat oleh-oleh, malam ini Dr. Agung mengenalkan gua pada kerupuk kulit khas Garut namanya dorokdok namanya, gua mencicipi rasanya memang berbeda. Tidak lupa dengan dodolnya yang menjadi ciri khas. Menyebut Garut maka jangan pulang tanpa dodol. Selamat tinggal garut, cepatlah pulih. Mari bangkit dan tersenyum lagi.
Hehee... nama gue disebut terakhir2.. :D
BalasHapusOya ralat tu yan, tulisnya:
drg.Joko.
Beliau kan dokter gigi.
Kalo dokter umum : dr.
baru balas setelah dua tahun
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus